Menyemarakkan Hari Jadi Kabupaten Bulukumba: Menjunjung Budaya Mali’ Siparappe, Tallang Sipahua
“Mali’ siparappe, Tallang sipahua” adalah perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis dan Konjo yang merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama.
Riwayat penamaan “Bulukumba”, konon katanya bermula dari dua kata dalam bahasa daerah bugis yaitu “Bulu’ku” dan “Mupa” yang dalam bahasa Indonesia berarti “masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya”. Dikutip dari beberapa sumber artikel, mitos ini pertama kali muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Pulau Sulawesi bagian selatan yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Kedua raja ini bertemu di wilayah pesisir pantai yang bernama “Tana Kongkong”. Mereka berdiskusi dan berunding secara damai untuk bermufakat menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki’ (secara literar berarti kaki bukit) merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompobattang mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur yang kemudian diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki’ sebagai wilayah otoritasnya mulai dari barat hingga ke selatan.
Peristiwa tersebut kemudian mencetuskan sebuah kalimat dalam bahasa daerah bugis “Bulu’kumupa” yang kemudian pada perkembangan dialek tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi “Bulukumba”. Konon sejak itulah lahir nama “Bulukumba” yang hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten didasarkan pada terbitnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi. Sehingga, secara yuridis, Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkannya Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilantiklah Andi Patarai sebagai bupati pertama pada tanggal 12 Februari 1960. Peresmian ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978 tentang Lambang Daerah.
Seiring berjalannya hari, kian tumbuhnya paradigma kesejahteraan, kebudayaan, dan keagamaan yang memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan. Pada tatanan tertentu, paradigma ini berkembang menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip “Mali’ siparappe, Tallang sipahua.” Mali’ artinya terbawa arus air, sedangkan siparappe berarti saling menolong agar tidak terbawa arus air. Tallang artinya tenggelam, sedangkan sipahua berarti saling menolong saat tenggelam.
Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis dan Konjo tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, dunia dan akhirat. Menurut Iskandar (2016), slogan dan semboyan kearifan lokal ini bermakna solidaritas dalam menghadapi rintangan yang nilai-nilainya dapat dilihat melalui kehidupan sehari-hari seperti tingginya rasa empati, budaya tolong menolong, saling memahami, hidup rukun, dan nilai kebersamaan lainnya.
Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan “Bulukumba Berlayar” yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. “Berlayar” merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi “Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah”. Sama halnya dengan slogal dan simbol kearifan lokal “Mali’ Siparappe Tallang Sipahua,” istilah “Berlayar” merupakan moral pembangunan lahir batin dan mengandung filosofi yang bermakna dalam serta berkaitan dengan kesejahteraan, kebudayaan, dan keagamaan masyarakat Bulukumba.
Slogan “berlayar” juga bukan hanya sekedar akronim. Penyematan nama ini sebenarnya dikaitkan dengan sejarah nenek moyang warga Kabupaten Bulukumba yang merupakan pengrajin kapal dan pelaut yang tangguh. Untuk mengarungi lautan samudera, masyarakat memiliki perahu layar yang tangguh yang bernama “perahu pinisi”. Perahu pinisi dibuat secara telaten dengan sentuhan seni, magis, dan memiliki filosofi pada setiap bagian perahu. “Butta Panritalopi”, inilah julukan yang disematkan untuk tanah Bulukumba yang berarti “Tanah Pelaut Ulung”.
Melalui semboyan ini, masyarakat Bulukumba berharap dapat melanjutkan kebiasaan leluhurnya yang memiliki tekad yang tangguh dan tanggung jawab yang tinggi dalam menghadapi segala kondisi agar dapat saling mendukung dalam memicu semangat bersatu pada generasi selanjutnya. Fajarini (2014) berpendapat bahwa “Mali’ Siparappe Tallang Sipahua” perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat sebab semboyan ini merupakan amanah persatuan dalam usaha mewujudkan kesalamatan bersama demi tercapainya tujuan pembangunan lahir bathin, material spiritual, dan dunia akhirat.
Budaya dan kearifan lokal hanya akan abadi jika dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, pada hari jadi Kabupaten Bulukumba yang ke-63 ini, penulis yang merupakan putri daerah berharap agar masyarakat Bulukumba tetap mempertahankan dan menjunjung budaya “Mali’ Siparappe Tallang Sipahua” agar dapat bersama-sama menapis budaya luar yang tidak sesuai, serta merespon dan menjawab arus zaman yang telah berubah dan semakin modern.
Selamat Hari Jadi Kabupaten Bulukumba ke-63
Referensi:
http://dikbud.bulukumbakab.go.id/sejarah/
https://bulukumbakab.go.id/sejarah-kabupaten-bulukumba
http://www.pedomankarya.co.id/2015/09/asal-usul-nama-bulukumba.html
http://www.pedomankarya.co.id/2015/10/mali-siparappe-tallang-sipahua-sikap.html#
Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter. Sosio didaktika. 1(2): 123-130.
Iskandar. 2016. Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng dalam Kehidupan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana. Jurnal Bastra. 1(2): 1-19.
Nurfathana, S. (2018). Tallang Sipahua dalam Mencegah Fraud di Desa Bontoharu. Tesis terpublikasi, UIN Alauddin: Makassar.
Gambar: Zuljalali Bulukumba English Meeting Club
This article has been published in Suara Lidik https://suaralidik.id/hari-jadi-bulukumba-menjunjung-budaya-mali-siparappe-tallang-sipahua/