March 29

Tongkonan: Journal of Community Service

Tongkonan: Journal of Community Service is a Journal Published by UKI Toraja Publication and UKI Press (p-ISSN 2961-7081 e-ISSN 2961-7081). This journal is a scientific journal that is published twice a year in June and December. This journal has been published offline and online since 2022.

Tongkonan: Journal of Community Service publishes scientific papers on the results of studies and literature reviews in the field of community service. Context This journal publishes professional or conceptual articles and research articles built on qualitative and quantitative studies.

March 25

Jurnal Komunikasi Pendidikan

Jurnal Komunikasi Pendidikan is a peer-reviewed open-access journal that publishes education and learning. Each submitted manuscript will go through a double-blind review process with at least two peer reviewers. This journal is released twice a year. Please register if you are an author interested in submitting a manuscript. The manuscript template can be downloaded from this page, along with the author’s guidelines.

Kindly visit http://journal.univetbantara.ac.id/index.php/komdik/index

March 25

Mempertimbangkan Capaian Pembelajaran dan Fokus pada Kualitas Implementasi Pengajaran Bahasa Inggris

Pemerolehan bahasa asing adalah satu hal yang sangat signifikan untuk menjadi fokus kita bersama di era ini. Sebagaimana perannya sebagai bahasa “pergaulan internasional” atau yang dikenal dengan istilah “lingua franca”, motiv yang mendasari seseorang belajar Bahasa Inggris berbeda beda. Sebagian bertujuan untuk tujuan integratif agar dapat merasa aman dan nyaman berkomunikasi ketika bepergian ke luar negeri. Sebagian lagi untuk tujuan instrumental seperti kepentingan agar dapat lulus ujian, dapat menuntaskan soal TOEFL atau IELTS, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, maupun mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan dan tuntutan untuk menguasai bahasa asing ini bergerak semakin tinggi yang menyebabkan peranan Bahasa Inggris menempati posisi sebagai salah satu kurikulum wajib di sekolah. Tahap demi tahap, Bahasa Inggris telah berkembang dari minat minoritas dalam linguistik terapan menjadi bidang studi utama yang juga menggeser titik fokus kita bersama dalam implementasi pengajaran Bahasa Inggris di negara yang bukan penutur Bahasa Inggris sebagai bahasa asli.

Di Indonesia, Bahasa Inggris sudah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajahan Belanda, namun dihapuskan pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian Bahasa Inggris secara resmi kembali diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah-sekolah Indonesia seiring dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1967. Bagi beberapa negara di dunia yang warganya bukan penutur asli Bahasa Inggris, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa kedua atau dikenal dengan istilah “English as a Second Language (ESL)” dan bahasa asing yang dikenal dengan istilah “English as a Foreign Language (EFL). Namun, kedua posisi ini dipandang memiliki arti yang berbeda dalam konteks budaya, pembelajaran dan penggunaannya. Richards dan Smidt (2010) mengatakan bahwa EFL diibaratkan sebagai studi kelas di luar negeri di mana Bahasa Inggris tidak memainkan banyak peran secara internal. Sedangkan, ESL sering merujuk pada perolehan Bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan yang berfungsi sebagai media komunikasi dan interaksi di sekolah maupun dalam ruang lingkup pemerintahan.

Seharusnya, sebagai negara yang mengadopsi Bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL), kita harus memiliki usaha yang lebih gigih dalam hal peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Sebab, kita tak bisa mengharapkan fenomena yang sama yang terjadi di negara yang mengadopsi Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL) yang mana Bahasa Inggris digunakan sebagai media komunikasi yang dominan. Sehingga peluang dalam penerimaan bahasa asing dalam interaksi sehari-hari di negara kita sangatlah kecil.

Sayangnya, harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Salah satu yang menjadi sebuah “trend” dalam pengajaran Bahasa Inggris di kelas adalah banyak guru di Indonesia yang masih melaksanakan sistem pengajaran tradisional dengan menerapkan metode ceramah untuk mendominasi pembicaraan sehingga kegiatan di kelas terlihat monoton satu arah dan terkesan membosankan. Alur kegiatan berdasarkan inisiasi guru, namun respon siswa sangat pasif sebagaimana Muttaqien (2017) dalam studi penelitiannya menemukan sebagian besar pembicaraan di kelas didominasi oleh pembicaraan guru.

Kasus yang lain terkait dengan pilihan bahasa instruksional atau bahasa pengantar guru yang dikenal dengan istilah “teacher talk”. Pertanyaan yang sering menjadi kontroversi adalah “haruskah guru EFL hanya berbicara bahasa target (Bahasa Inggris) di kelas sembari memanfaatkan gerak tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata yang baik untuk membuat siswa memahami apa yang sedang dijelaskan? Jika demikian, apakah seluruh siswa dapat memahami materi dengan baik?” ataukah “haruskah guru EFL menggunakan bahasa pertama (Bahasa Indonesia) dalam menjelaskan materi atau menyampaikan informasi penting? Jika guru EFL memutuskan untuk menggunakan bahasa pertama, lalu seberapa besar proporsi bahasa tersebut untuk mengakomodasi penguasaan Bahasa Inggris siswa?.”

Dua hal di atas menjadi masalah yang dapat menghambat perkembangan Bahasa Inggris di Indonesia. Oleh karena itu, mempertimbangkan capaian pembelajaran dan memfokuskan perhatian kita pada pencapaian kualitas dalam implementasi pengajaran Bahasa Inggris di sekolah-sekolah merupakan tanggungjawab kita bersama, khususnya para praktisi pendidikan dalam ruang lingkup pengajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang dikenal dengan istilah “Teaching English as a Foreign Language (TEFL)”.

The article has been published on jalurinfosulbar.id

 

 

March 16

The Asian Journal & Asian EFL Journal International Virtual Conference

 

How the English Immersion Environment Shapes Indonesian Metacognitive Learning Strategies: A Study in the English Village

Abstract:

Students learning English as a foreign or second language benefit from engaging in various immersion programs when feasible. This paper investigates how the English immersion environment of Indonesian’ gigantic English Village constructs the learners’ metacognitive learning strategies. It was an ethnographic qualitative study. Fourteen participants were selected purposively from six English institutions in the largest Indonesian English village of Kampung Inggris Pare. It employed participant observation and was followed by selective interviews. Kampung Inggris Pare encompassed around 160 English institutions. This English village’s context accommodates establishing an authentic environment, English camps, and exciting classroom activities. These three main elements were identified to assist the learners in centering, planning, arranging, monitoring, and evaluating their learning while studying and staying for some months in this English immersion environment. Thus, having good regulation and management in studying will lead them to gain the goal of mastering English quickly because their learning becomes more directed.

Keywords: Immersion Environment, Kampung Inggris Pare, Metacognitive Learning Strategy,                     Ethnographic Study.

 

March 16

2nd International Virtual TESOL CONFERENCE

Discovering Indonesian Students’ Cognitive Learning Strategy Model: Research in an English Immersion Program

Abstract:

This paper begins by describing Indonesia’s successful and long-running Kampung Inggris Pare as the gigantic English immersion program in Indonesia. The second aim is to investigate students’ strategy models applied to improve speaking skills. Fourteen students selected purposively from six English institutions participated in this qualitative ethnographic study. It involved participant observation for three months and semi-structured interviews. The result found that all participants implemented a similar series of actions to improve speaking skills, called cognitive strategy. They mainly started learning from engaging in social interaction in the immersion environment.  They listened to daily conversation, supported by other input sources, such as youtube, English learning situs, and reading text. The challenging words were then noted to be translated, grouped, defined the meaning, or found the synonym to be understood easily. The students reviewed the vocabulary by relistening or rereading it many times to be stored in memory. Next, students imitated loudly to have better pronunciation. Lastly, students practiced naturalistic or set speaking activities with friends as much as possible. Although the learning is not carried out in the English immersion program environment, EFL students can adopt and apply this model in a broader context.

March 9

Polemik Urgensi Kecakapan Berbahasa Inggris di Indonesia

Kecakapan bahasa Inggris adalah sebuah urgensi yang menuntut peran aktif masyarakat di era globalisasi”. Menggaungkan kalimat ini bukanlah sesuatu yang mudah. Penduduk Indonesia yang tersebar di lima pulau besar dengan 17.000 pulau kecil (data viva.co.id per April 2022) mengakibatkan keragaman budaya yang memungkinkan adanya perbedaan perspektif akan urgensi mempelajari Bahasa Inggris, khususnya di era globalisasi ini.

Dampak lain yang ditimbulkan adalah tidak meratanya informasi dan kesadaran akan pentingnya Bahasa Inggris sebagai media interaksi dan komunikasi Internasional. Sebagian masyarakat justru menganggap bahwa menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari hari adalah mereka yang tidak mencintai kebudayaan nasional dan tidak menghormati Bahasa Indonesia.

Sebagaimana “buku adalah jendela dunia”, kecakapan Bahasa Inggris bahkan telah menjadi word gate atau gerbang dunia sebagai situs lalu lintas informasi dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dalam segala domain seperti pendidikan, ekonomi, sosial, politilk, budaya, dan aspek kehidupan lainnya di berbagai belahan dunia. Namun, pernahkah kita mendengar sebuah ujaran yang menyatakan bahwaBahasa Inggris dapat melumpuhkan kekhasan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional”?. Tak dapat dipungkiri, dua sudut pandang yang kontoversi ini layaknya dua sisi mata uang berbeda yang telah menjadi sebuah polemik di masyarakat sejak dulu sehingga menciptakan dilema urgensi akan kebutuhan mempelajari Bahasa Inggris.

Dari kacamata penulis, pemikiran sebagian masyarakat yang menganggap Bahasa Inggris dapat menurunkan kecintaan seorang warga negara terhadap keaslian budayanya masih terlalu sempit. Ini juga bukan merupakan alasan rasional untuk menutup diri dari panggung dan pentas internasional sehingga tak mau belajar Bahasa Inggris. Jangan salah, tolak ukur nasionalisme tidak hanya ditunjukkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menggunakan produk-produk dalam negeri, menaati hukum yang berlaku serta menunjukkan prestasi di ajang internasional juga menyiratkan wujud kecintaan seorang warga terhadap bangsa dan negaranya.

Mari membayangkan bagaimana peluang dan kesempatan untuk menjadi juara dunia bagi delegasi Indonesia di ajang kompetisi internasional tanpa Bahasa Inggris?. Tentunya,  mengaharumkan nama Indonesia pada kompetisi internasional akan sangat sulit jika finalis tidak berbekal kecakapan Bahasa Inggris, sebagaimana bahasa ini telah disepakati sebagai Bahasa komunikasi internasional (Lingua franca). Siswa yang berbakat pada bidang matematika dan ilmu lainnya pun membutuhkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang mungkin saja akan digunakan pada event nasional.

Generasi muda milenial justru harus terus meng-upgrade diri untuk merespon tuntutan dan arus globalisasi sehingga dapat bersaing dan turut andil dalam komunikasi, kerjasama maupun kompetisi dunia. Karena setiap bidang membutuhkan kecakapan berbahasa Inggris. Olehnya, Bahasa Inggris sebenarnya bukanlah penghalang untuk terus menggaungkan semangat nasionalisme. Sebaliknya, Bahasa Inggris menjadi salah satu kunci kesuksesan dan kemajuan suatu negara.

Kemudian, apa kabarnya dengan sebuah istilah “globalisasi berbasis teknologi”? Tidak bisa dipungkiri kita hidup dikelilingi oleh jaringan internet yang terkoneksi dengan jaringan di seluruh dunia. Sadarkah kita jika hampir seluruh bentuk komunikasi yang digunakan baik lisan maupun tulisan dalam jaringan ini menggunakan bahasa pengantar yaitu Bahasa Inggris? Lalu, bagaimana pula dengan petunjuk penggunaan alat teknologi ataupun produk industri lainnya yang sebagian juga menggunakan Bahasa Inggris?

Sebagai generasi emas bangsa, mari membuka mindset terhadap perkembangan zaman yang menuntut kita untuk semakin menjadi “smart” dalam berpikir dan mengelola kondisi dengan sebaik-baiknya. Mari memikirkan apa kabarnya bangsa kita jika sebagian besar penduduknya tidak memiliki keterampilan sedikitpun dalam berbahasa Inggris? Lalu posisi kita dimana dalam menghadapi polemik urgensi mempelajari Bahasa Inggris di Indonesia?.

“Learning English is an important step forward to all of those goals. The global job market has even created new positions for bilingual people. Language is our primary source of communication, therefore knowing English is very important in modern world”.  Lalitm Shukla

“Belajar bahasa Inggris adalah langkah maju yang penting untuk semua tujuan. Pasar kerja global bahkan telah menciptakan posisi baru untuk orang dwibahasa. Bahasa adalah sumber utama komunikasi kami, oleh karena itu mengenal bahasa Inggris sangat penting di dunia modern ”.

This article has been published at Sulselpedia.com.