Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris Tradisional Versus Komunikatif
Fenomena pembelajaran yang berpusat pada guru, Teacher Centered Learning (TCL), telah membudidaya dan sulit untuk diubah. Pada pendekatan tradisional ini, guru tampaknya memainkan peran penting dalam proses belajar mengajar. Guru memberikan informasi dimana siswa secara pasif menerima. Tidak ada persiapan dan aktivitas yang bermakna sebelum memulai pelajaran. Siswa dipersilakan untuk duduk, diam, dan hanya mendengarkan.
Karakteristik utama pendekatan pembelajaran tradisional ini adalah bahwa guru biasanya menggunakan buku teks tertentu untuk mengajar Bahasa Inggris, yang lebih berfokus pada tata bahasa. Orientasinya adalah menghasilkan siswa yang dapat menjawab soal ujian Bahasa Inggris dengan baik. Sebaliknya, siswa kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan tugas bahasa secara komunikatif dengan berkolaborasi dan berinteraksi dengan teman kelas.
Tantangan ini mungkin hanya sebagian kecil dari masalah yang dihadapi dalam pengajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing, English as a Foreign Language (EFL) di Indonesia. Peran bahasa Inggris sebagai bahasa asing memang menjadi problematika. Masyarakat Indonesia tidak memiliki banyak akses untuk mendengarkan orang berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Faktanya, meskipun Bahasa Inggris telah diajarkan dan digunakan selama bertahun-tahun di sekolah-sekolah formal Indonesia, hasilnya masih belum memuaskan karena sangat sedikit siswa yang lulus dapat berkomunikasi dengan baik dan fasih (Karmala, Kristina, & Supriyadi, 2018).
Kelas tradisional tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menghasilkan dan mengembangkan strategi pembelajaran bahasa Inggris. Dalam pendekatan ini, siswa memiliki lebih sedikit kesempatan untuk berbicara tentang proses dan pengalaman belajar mereka. Sehingga mengakibatkan mereka sangat pasif dan bergantung pada guru. Namun, permasalahan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Inggris disebabkan oleh guru dan berasal dari siswa itu sendiri serta lingkungannya.
Tentunya, guru harus mengandalkan kapasitas mereka untuk meningkatkan motivasi siswa dan mendesain berbagai pendekatan untuk mengembangkan kemampuan Bahasa Inggris siswa. Glassman dan Opengart (2016) mengungkapkan bahwa sebagian besar peneliti sependapat jika kreativitas dan inovasi adalah hal utama yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang maupun organisasi.
Dalam pendidikan, inovasi pengajaran adalah menemukan cara baru untuk menjangkau semua siswa. Guru harus memanfaatkan berbagai alat untuk membantu siswa menjadi komunikatif dan produktif. Setiawan dkk. (2020) setuju bahwa inovasi pengajaran secara signifikan berdampak pada seberapa banyak siswa menikmati pembelajaran, secara langsung dan dramatis mempengaruhi kemajuan akademik mereka.
Pengajaran speaking tidak selalu dimulai dengan memberikan topik untuk didiskusikan atau disajikan sesuai dengan persepsi, pengalaman, dan pengetahuan siswa. Siswa tidak dapat menghindari salah satu keterampilan dalam belajar bahasa Inggris karena saling ketergantungan. Keterampilan berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan akan saling terintegrasi untuk membentuk suatu keterampilan yang utuh untuk mencapai tujuan pembelajaran. Guru dapat mengajar siswa dengan memanfaatkan sumber materi dari teks bacaan, lagu barat, laporan tulisan siswa, dan sumber lain seperti media visual. Semua bahan ini digunakan untuk mendukung keterampilan komunikatif.
Kelas speaking yang terintegrasi dengan listening practice dapat diawalai dengan pemberian materi listening berupa lagu barat, bahan , podcast, rekaman wawancara, cerita tentang motivasi belajar, dan lain-lain. Guru dapat mengadopsi pendekatan berbasis teknologi informasi dengan menggunakan platform digital seperti youtube. Mereka juga dapat mengakses materi di situs pembelajaran bahasa Inggris ternama, seperti BBC, Cambridge, British Council, Effortless English Language, liricstraining, dan lain-lain.
Dalam memperoleh kompetensi komunikatif, pengajaran speaking dapat dilakukan dari beberapa proses berurutan, dimulai dengan mendengarkan bahan listening sebagai input dan mengarah ke tahap kegiatan berbicara. Akan tetapi, sebelum memasuki kegiatan inti, guru harus mendesain kegiatan yang bermakna untuk memotivasi siswa, misalkan malakukan warming up atau ice breaking terkait materi yang akan dipelajari. Misalkan ketika akan mempelajari materi listening terkait lagu, ice breaking dapat dilakukan dengan menayakan “apakah kalian menyukai musik? siapa penyanyi favorit kalian?, apakah kalian bisa bermain musik?, musik apa yang kalian sering mainkan?.”
Setelah itu, guru dapat menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan misalkan materi berupa lagu barat dilengkapi dengan lembaran kertas berisi lirik lagu yang belum lengkap. Guru dapat memanfaatkan tekhnologi dengan menginstruksikan siswa untuk mengakses lyricstraining.com. Guru yang berfungsi sebagai fasilitator dapat membimbing siswa untuk menemukan nama penyanyi dan mencari judul yang akan dipelajari pada laman web tersebut. Kemudian siswa diminta untuk mendengarkan lagu dengan baik sambil memperhatikan kata-kata yang kosong. Kata-kata kosong ini harus ditemukan dalam lagu, sehingga siswa harus berkonsentrasi penuh.
Untuk mendapatkan jawaban, siswa harus menggunakan strategi pembelajaran neuro-kognitif mereka, seperti yang dipromosikan oleh Pratiwi (2021). Lagu tersebut dimainkan sebanyak lima kali untuk melatih keterampilan menyimak siswa sambil melengkapi liriknya. Tahap ini diperkenalkan sebagai “proses review” berdasarkan strategi pembelajaran neuro-kognitif. Setelah melakukan review lagu sebanyak lima kali, tutor mengecek jawaban siswa sambil siswa mencocokkan pekerjaannya.
Kegiatan dilanjutkan dengan menanyakan kepada siswa tentang kata-kata asing yang akan dibahas. Setelah itu, siswa diminta menceritakan isi lagu sesuai dengan persepsinya. Selanjutnya kegiatan kelas diakhiri dengan menyanyikan lagu bersama. Siswa terlihat antusias dan bersemangat karena berbagai kegiatan kelas. Berikut adalah alur kegiatan tersebut.
Gambar 2: Alur Pembelajaran Komunikatif berbasis Listening (Diadopsi dari Pratiwi, 2021)
Referensi:
Glassman, A. M., & Opengart, R. (2016). Teaching innovation and creativity: Turning theory into practice. Journal of International Business Education, 11, 113.Genesee, F. (1985). Second language learning through immersion: A review of US programs. Review of educational research, 55(4), 541-561.
Karmala, E. T., Kristina, D., & Supriyadi, S. (2018). Learning Public Speaking Skills from an Ethnography Study ofKampung Inggris. In English Language and Literature International Conference (ELLiC) Proceedings, Vol. 2, 228-230
Pratiwi, W.R. (2021). EFL Learners’ Motivations and Speaking Learning Strategies in an English Village-Based Immersion Program at Kampung Inggris Pare (Unpublished Doctoral Thesis), State University of Makassar.
Setiawan, R., Nath, K., Cavaliere, L. P. L., Villalba-Condori, K. O., Arias-Chavez, D., Koti, K., … & Rajest, S. S. (2020). The impact of teaching innovative strategy on academic performance in high schools. Productivity Management. 25. 1296-1312.
This article has been published in Suara Lidik https://www.suaralidik.com/pendekatan-pembelajaran-bahasa-inggris-tradisional-versus-komunikatif/