August 19

Merdeka Belajar, Merdeka Berkarya: Menempa Jiwa Nasionalis di Era Digital

Merdeka Belajar: Transformasi Pendidikan Menuju Kemandirian

Sejak dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), konsep “Merdeka Belajar” telah menjadi tonggak perubahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tujuan utama dari gerakan ini adalah memberikan keleluasaan bagi siswa, guru, dan lembaga pendidikan untuk berinovasi, menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, serta membebaskan proses belajar dari keterbatasan administratif dan kurikulum yang kaku.

Di era digital ini, “Merdeka Belajar” menjadi semakin relevan. Teknologi telah membuka akses luas terhadap sumber belajar dari berbagai penjuru dunia. Hal ini memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri, menemukan materi yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, serta mengembangkan keterampilan yang diperlukan dalam dunia kerja masa depan. Namun, tantangan terbesar dari kebebasan ini adalah bagaimana memastikan bahwa siswa tetap memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam proses belajarnya.

Kemerdekaan dalam belajar bukan berarti tanpa arahan. Guru dan institusi pendidikan harus mampu menjadi fasilitator yang mengarahkan siswa untuk memanfaatkan kebebasan ini secara bertanggung jawab. Dalam hal ini, nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air harus tetap menjadi fondasi yang kokoh. Melalui pendidikan karakter yang dipadukan dengan pembelajaran berbasis teknologi, kita bisa mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam jati diri kebangsaan.

Merdeka Berkarya: Kreativitas dan Inovasi untuk Indonesia

Kemerdekaan bukan hanya soal kebebasan dalam belajar, tetapi juga dalam berkarya. Di era digital, kesempatan untuk berkarya semakin terbuka lebar. Anak-anak muda Indonesia kini dapat menciptakan karya-karya yang tak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga sarat akan makna dan pesan kebangsaan. Semangat berkarya inilah yang perlu terus didorong, terutama dalam rangka memperingati 79 tahun kemerdekaan Indonesia.

Digitalisasi telah melahirkan berbagai platform yang memungkinkan siapa saja untuk menyalurkan ide dan kreativitasnya. Dari konten-konten edukatif di YouTube, podcast yang inspiratif, hingga aplikasi-aplikasi inovatif, semuanya menjadi sarana bagi generasi muda untuk berkontribusi bagi bangsa. Namun, dalam kebebasan ini, tetap diperlukan pemahaman yang kuat tentang identitas nasional. Karya-karya yang dihasilkan harus mampu mencerminkan semangat kebangsaan, mengangkat kearifan lokal, dan menyebarkan pesan-pesan positif yang menginspirasi.

Pendidikan formal dan non-formal harus bersinergi dalam menciptakan ekosistem yang mendukung generasi muda untuk berkarya. Kurikulum yang adaptif, kolaborasi dengan industri kreatif, serta penyediaan infrastruktur digital yang memadai adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mendorong lahirnya karya-karya yang berdaya saing global namun tetap berpijak pada nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Menempa Jiwa Nasionalis di Era Digital: Tantangan dan Peluang

Era digital menawarkan banyak peluang, tetapi juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam menjaga semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Arus informasi yang begitu deras dari berbagai penjuru dunia bisa menjadi ancaman bagi identitas kebangsaan jika tidak disikapi dengan bijak. Di sinilah peran penting pendidikan dan keluarga dalam menempa jiwa nasionalis generasi muda.

Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila harus terus diintegrasikan ke dalam setiap aspek pembelajaran, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Semangat gotong royong, toleransi, dan cinta tanah air harus ditanamkan sejak dini, sehingga generasi muda dapat memilah dan memilih informasi yang mereka terima, serta memanfaatkannya untuk kemajuan diri dan bangsa.

Selain itu, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjaga nasionalisme anak-anaknya. Orang tua perlu aktif dalam mendampingi anak-anaknya dalam penggunaan teknologi, serta memberikan contoh nyata dalam berperilaku nasionalis. Dengan dukungan dari pendidikan dan keluarga, generasi muda Indonesia akan mampu menghadapi tantangan era digital tanpa kehilangan jati diri kebangsaannya.

Pada peringatan kemerdekaan ke-79 ini, marilah kita semua memperkuat semangat “Merdeka Belajar, Merdeka Berkarya” dengan terus menempa jiwa nasionalis di era digital. Dengan semangat kebangsaan yang kokoh, kita dapat bersama-sama membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan gemilang.

Selamat Hari Kemerdekaan, Indonesia!

Category: Opinion | LEAVE A COMMENT
February 7

Mendesain Kelas yang Interaktif melalui Sebuah Teks Bahasa Inggris (Pengembangan model TIC Activities-based Reading Text) 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran yang diangap sulit oleh sebagian besar siswa di Indonesia (Tambunsaribu & Galingging, 2021). Faktor utama penyebab masalah tersebut adalah kedudukan bahasa Inggris di Indonesia sebagai bahasa asing (Alfarisy, 2021) yang menyebabkan sangat sulitnya dijumpai komunitas yang menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, khususnya di daerah-daerah terpencil. Hambatan pertama ini yang kemudian melahirkan dampak-dampak lainnya, khususnya dalam implementasi proses pembelajaran di sekolah yang berbuntut pada rendahnya motivasi, kompetensi, dan kepecayaan diri siswa terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris.  

Karena bahasa Inggris dianggap sulit dan tidak menarik, sebagian besar siswa menghadapi tantangan saat mempelajari mata pelajaran wajib ini. Oleh karena itu, tugas seorang guru Bahasa Inggris bukan hanya sekedar menyampaikan materi. Sebagai langkah awal dan strategi pertama, mereka harus mendorong dan memotivasi siswa untuk mencintai Bahasa Inggris sebelum memasuki konten pedagogik mata pelajaran ini. Selain itu, memiliki motivasi diyakini sebagai bentuk pertahanan mental ketika di tengah jalan siswa mengalami suatu kendala dalam proses pembelajaran. Setidaknya, mereka dapat kembali memikirkan hal-hal positif mengenai manfaat ketika menguasai Bahasa Inggris 

Akan tetapi, menyimpulkan dari penelitian terkait sebelumnya, beberapa kendala dalam proses penerimaan Bahasa Inggris kebanyakan merujuk pada kapabilitas dan keterampilan guru dalam menciptakan inovasi pembelajaran kelas yang interaktif (Rahmat & Jannatin, 2018; Hasibuan & Moedjiono, 2012). Variabel lainnya yaitu terkait fasilitas penunjang pembelajaran yang tidak memadai, bahan rujukan/ referensi yang kurang up to date, materi yang dianggap lebih sulit, kondisi kelas yang tidak kondusif, serta lingkungan yang tidak mendukung untuk mempraktikkan keterampilan berbahasa Inggris (Pratiwi, 2019). 

Pada hakikatnya, mengajarkan Bahasa Inggris adalah sebuah keterampilan untuk mencapai tujuan komunkatif. Namun, tujuan utama ini tidak akan dapat diraih jika guru tidak memiliki kreatifitas. Menurut Rahmat dan Jannatin (2018), variasi dalam aktifitas pembelajaran sangat krusial dalam menentukan kesuksesan pembelajaran. Metode pengajaran yang bervariasi tentunya akan terasa menyenangkan dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif sehingga kelas menjadi interaktif dan lebih hidup. Wahab (2016) menambahkan guru berperan krusial dalam membangun suasana akademik yang interaktif karena melalui interaksi yang baik antara guru dan siswa atau sesama siswa memungkinkan siswa dapat berkembang secara mental dan intelektual. Oleh karena itu, guru harus memiliki inovasi. 

Sehubungan dengan pencapaian tujuan komunikatif dalam belajar Bahasa Inggris, guru tidak disarankan hanya memperhatikan keterampilan berbicara saja karena semua keterampilan dasar bahasa Inggris (mendengar, menulis, membaca, dan berbicara) saling berkaitan dan bergantung. Selanjutnya, guru harus menciptakan suasana yang nyaman di dalam kelas.  

Pratiwi (2021) telah memperkenalkan beberapa aktifitas kelas yang dinamakan Talkative and Interesting Classroom (TIC) Activities. Untuk mencapai tujuan pembelajaran komunikasi, beberapa input materi dapat didistribusikan kepada peserta didik, seperti mengajar berbicara melalui latihan membaca, mengajar berbicara melalui latihan mendengarkan, mengajar berbicara melalui latihan menulis, mengajar berkomunikasi melalui materi visual, dan lain-lain. 

Secara spesifik, pada tulisan ini saya akan menjelaskan bagaimana sebuah materi yang inputnya berupa teks bacaan dapat dirancang menjadi materi pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan. Meskipun diawali dengan suguhan teks bacaan yang selama ini dianggap siswa terkesan kaku dan monoton, namun materi ini dapat berkembang menjadi berbagai jenis aktifitas dengan keterampilan yang terintegrasi untuk tujuan peningkatan keterampilan berkomunikasi. Sehingga, untuk mencapai tujuan tersebut, guru dapat merancang TIC activities dengan mulai dari memahami teks bacaan berbahasa Inggris yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan penguasaan kosakata siswa dan menghasilkan pengucapan yang lebih baik dan fasih. Bagannya sebagai berikut 

TIC Activities-based Reading Text  (Diadaptasi dari Pratiwi, 2021)

 

 

 

Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam mengelola materi ajar berbasis teks bacaan adalah menerapkan metode diam atau silent reading. Membaca dalam hati dapat dilakukan  dua atau tiga kali. Tujuannya adalah agar input ilmu pengetahuan yang terkandung dalam bacaan dapat diserap dengan baik oleh otak. Kemudian dilanjutkan dengan metode membaca nyaring atau reading aloud. Membaca nyaring dilakukan dengan menerapkan system drilling secara bergantian. Setiap siswa membaca satu sampai dua paragraf dan akan kembali membaca setelah siswa terakhir selesai membaca. Guru juga dapat menunjuk siswa secara acara agar seluruh kelas terfokus pada kegiatan saat itu. Kegiatan membaca nyaring dilakukan dalam tiga putaran atau sesuai kebutuhan. Tujuan dilakukannya membaca nyaring ini adalah agar siswa dapat melatih pelafalan atau pronunciation dan kefasihan berbicara/ speaking fluency agar tidak kaku dalam mengucapkan kalimat berbahasa Inggris. 

Dalam teks bacaan, seorang guru harus memberikan penekanan atau perhatian khusus pada kosakata yang yang dianggap sulit Setelah siswa membaca teks, tibalah saatnya mereka benar-benar memahami isi teks dengan mendiskusikan makna sehingga mereka dapat menarik kesimpulan dan menceritakan kembali sesuai dengan kalimat sendiri. Olehnya, mereka wajib mencari makna dan arti pada kata kata asing dalam teks, dan mengucapkannya dengan baik. 

Selanjutnya, kegiatan tersebut dapat dikembangkan menjadi menjawab pertanyaan bacaan secara lisan. TIC activities dapat semakin meramaikan suasana kelas karena siswa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan berbicara dari satu pasangan ke pasangan lain, yang mana kegiatan ini dilakukan secara berpasangan atau kelompok. Di akhir kegiatan, beberapa siswa secara acak diminta untuk menceritakan kembali isi bacaan secara individu di depan kelas. Tujuannya, agar siswa mampu berpikir kritis, kepercayaan dirinya berbicara di depan orang banyak semakin meningkat, dan tentunya agar mereka terbiasa menggunakan Bahasa Inggris untuk tujuan komunikatif.  

Sumber: 

Alfarisy, F. (2021). Kebijakan Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia dalam Perspektif Pembentukan Warga Dunia dengan Kompetensi Antarbudaya. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 6(3), 303-313. 

Hasibuan, & Moedjiono. (2012, 64). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. 

Pratiwi, W. R. (2019). Demotivational Factors of Non-English Major Students in Learning English. ELS Journal on Interdisciplinary Studies in Humanities, 2(2), 193-205. 

Pratiwi, W. R. (2021).  A Study on EFL Learners’ Motivations and Speaking Learning Strategies in an English Village-based Immersion Program atKampung Inggris Pare. Unpublished thesis. Universitas Negeri Makassar. 

Rahmat, H., & Jannatin, M. (2018). Hubungan Gaya Mengajar Guru dengan Motivasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris. El Midad, 10(2), 98-111. 

Tambunsaribu, G., & Galingging, Y. (2021). Masalah Yang Dihadapi Pelajar Bahasa Inggris Dalam Memahami Pelajaran Bahasa Inggris. Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra Dan Budaya, 8(1), 30-41. 

Wahab, R. (2016, 179). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 


 

Category: Opinion | LEAVE A COMMENT
August 16

English for Computer: an Innovation to Welcome 5.0 Era

Entering the 5.0 era, technology and information are overgrowing, where all the news worldwide can be easily obtained through sophisticated technology. However, communication can be done quickly if we master the international language and technology. Therefore, computer and English skills are essential.     For students, mastering these two fields can lead to a better future. Why? Because colleges, scholarships, and the world of work provide better opportunities for those with English language and computer skills.

In the information system itself, programming terms and instructions for running computer applications are designed in English. Like data coding or analysis, most applications or software can only run commands in English. If we understand English, it will be easy to grab what it means.     

By understanding the English terms for computers, we will get an initial picture of how the components of a programming language work. Understanding how features work will determine how we create programs or applications later. Therefore, English is the language that underlies the development of information systems.   

One profession that also requires English is IT (Information Technology) Professionals. Also, dealing with computer English, the biggest challenge that IT Professionals face is when they have to communicate with clients who speak English. Therefore, as IT Professionals, English language skills are the primary capital to communicate with clients who use their services. Without English, IT professionals will find it challenging to develop themselves.  

The pressure of the times that demands computer and English skills have become my initiative to contribute to the world of education by producing a textbook entitled “English for Computer: Communication Skills in ICT.” This book is expected to be a reference or guide for English lecturers who take English for Specific Purpose (ESP) courses.    

“English for Computer: Communication Skills in ICT” is designed to increase knowledge related to computers and information systems by using English as the language of instruction. This book presents four basic English skills (speaking, listening, reading, and writing), which are integrated and packaged in one main goal, namely the ability to communicate in the field of computers and information systems.   

The birth of this computer ESP book was compiled from the results of research on analyzing the needs of students majoring in computer science and information systems regarding the learning materials they expect. For students not taking an English concentration, learning English is designed to be their scientific companion. Therefore, many students complain that the general material presented by the lecturer is not in accordance with their field. So, these teaching materials are adapted to the educational/professional background and interests of students.   

Not only providing knowledge of English related to computers, but this book also stimulates the creativity of lecturers to convey material creatively to students so that the primary goal of language learning can be achieved, namely the ability to communicate. In addition, this book is also expected to come with an injection of motivation and echo the importance of developing English language skills in today’s modern era.

This article has been published in Matakita.com https://matakita.co/2022/10/04/english-for-computer-communication-skills-in-ict-sebuah-inovasi-menyongsong-era-revolusi-industri-4-0/

Category: Opinion | LEAVE A COMMENT