February 7

Pendidikan Kognitif berbasis Karakter di Tingkat Pendidikan Dasar 

Dijabarkan oleh Noor (2018), pendidikan adalah usaha sadar oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan orientasi, pengajaran, dan pelatihan yang berlangsung sepanjang hayat, di dalam dan di luar sekolah, agar dapat mempersiapkan diri dalam memainkan peran yang berbeda. Pendidikan dapat berupa pembelajaran terprogram maupun tidak terprogram yang diperoleh dalam bentuk pembelajaran formal dan nonformal serta informal yang berlangsung sepanjang hayat dan bertujuan untuk mengoptimalkan keterampilan individu agar dapat berpartisipasi secara memadai dalam kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang. 

Kacamata penulis melihat sistem pendidikan dasar di Indonesia saat ini masih banyak yang hanya berfokus pada perkembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan perkembangan otak kanan (afektif, empatik dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih kepada optimalisasi fungsi otak kanan. Juga dalam mata pelajaran pembentukan karakter (seperti sopan santun dan agama) lebih ditekankan pada sisi kiri otak (mengingat atau sekadar “mengetahui”). Padahal, pembangunan karakter harus sistematis dan berkesinambungan serta melibatkan pengetahuan, perasaan, dan tindakan.  

Issue dan realita ini tentunya berdampak pada pembangunan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Sehingga ini tentunya harus menjadi fokus kita bersama.  

Lalu apa sebenarnya kecerdasan kognitif itu? 

Al-Faruq dan Sukatin (2020) menjelaskan bahwa kognitif adalah istilah yang digunakan oleh para psikolog untuk menggambarkan semua fungsi mental yang berkaitan dengan persepsi, pemikiran, memori dan pemrosesan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh informasi, memecahkan masalah dan merencanakan masa depan. Domain kognitif mengacu pada kemampuan berpikir, termasuk kemampuan untuk mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.  

Perkembangan kognitif terjadi sejak masa kanak-kanak, meskipun potensi terutama biologis dimulai sejak lahir. Ketika anak-anak mulai sekolah, keterampilan kognitif mereka berkembang pesat (Ariani et al., 2022). Karena bersekolah berarti dunia dan minat anak berkembang, dan dengan meluasnya minat juga tumbuh pemahaman tentang orang dan benda yang sebelumnya tidak berarti bagi anak.  

Umumnya, kemampuan berpikir anak sebelum sekolah bersifat imajinatif dan egosentris. Kemampuan berpikir selanjutnya berkembang pada usia sekolah dasar dan menjadi lebih konkrit, bermakna, dan objektif. Pada tahap ini, kemampuan anak untuk mengeksplorasi lingkungan meningkat karena terjadi peningkatan kontrol motorik yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan bertanya dengan kata-kata dan dipahami oleh orang lain. Akibatnya, imajinasi dan kapasitas mental anak terus bekerja sehingga daya tangkap dunia meningkat.  

Menurut Zulkarnain (2015), model pendidikan kognitif dapat dianggap sebagai model tertua dalam sejarah pendidikan. Model ini sangat menitikberatkan pada kegiatan pengukuran dalam proses evaluasi pendidikan yang mana “angka” akan memainkan peran yang sangat penting. Dalam praktiknya, model ini telah diterapkan dalam proses penilaian untuk mengidentifikasi dan mengungkap perbedaan antara individu dan kelompok dalam hal keterampilan, minat, sikap dan kepribadian.  

Akibatnya, siswa yang terdoktrin untuk berorientasi pada prestasi tinggi sering mengabaikan karakter yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Sedangkan, siswa yang merasa “kurang” dalam hal prestasi akan merasa lebih di bawah dari teman-temannya yang mungkin saja dapat berefek pada rasa frustasi, sikap minder, dan semakin tidak termotivasi untuk belajar. 

Lalu, bagaimana peran guru dan orangtua berkontribusi dalam pengembangan pendidikan karakter anak? 

Menurut Feranina dan Komala (2022), karakter adalah perilaku berdasarkan nilai-nilai berdasarkan norma agama, budaya, hukum/ konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pembentukan karakter pada hakekatnya terjadi melalui pengajaran nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab memperkuat kecenderungan sehingga menjadi kebiasaan.  

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk mendorong lahirnya peserta didik yang baik, yaitu tumbuh dengan akhlak yang baik, tumbuh dengan segala potensi, serta kemampuan, dan komitmen untuk melakukan yang terbaik dan benar sebagai tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif dapat ditemukan di lingkungan sekolah dimana semua siswa dapat menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan penting. 

Masyarakat membentuk karakter melalui pendidik dan orang tua agar anak siap berperilaku seperti yang diinginkan masyarakat. Murba et al., (2022) menekankan bahwa karakter dikembangkan melalui tahapan “pengetahuan (knowledge), tindakan (action), dan kebiasaan (habit). Artinya, karakter tidak terbatas pada pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu kebaikan belum tentu dapat berbuat dan bertindak atas ilmu tersebut kecuali dilatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak terbatas pada pengetahuan, tetapi lebih dalam dan mencapai ranah perasaan dan kebiasaan diri. Oleh karena itu diperlukan 3 (tiga) komponen karakter yang baik, yaitu a) pengetahuan moral, b) perasaan moral, dan c) tindakan moral. Hal ini diperlukan agar siswa dapat sekaligus memahami, merasakan, dan melakukan nilai-nilai kebaikan tersebut. 

Sistem pendidikan yang mampu membentuk manusia yang berkarakter baik yang siap secara pribadi dan sosial untuk hidup di dunianya sendiri harus menjadi tujuan utama dari setiap institusi pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan manusia yang cerdas dan berakhlak mulia harus menjadi komitmen setiap pendidik dan juga didukung oleh peran orangtua. Peserta didik harus didesain menjadi individu yang dapat terlibat aktif sebagai anggota masyarakat. Mereka harus dibantu dan didorong untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan efektif yang memiliki keinginan, pengetahuan, dan berjiwa sosial.  

Pada kesimpulannya, peningkatan kognitif siswa sangat penting. Namun, hal yang lebih penting adalah dukungan dalam menciptakan pendidikan kognitif berbasis karakter di level pendidikan dasar. Sehingga, guru dan orangtua diminta saling bekerjasama dalam mencapai tujuan tersebut. Kerjasama yang dimaksud untuk menanamkan pendidikan kognitif berbasis karakter demi pembentukan akhlak peserta didik. Menurut penulis, pondasi pembentukan akhlak seseorang berada di pendidikan level dasar. Harapannya, pembentukan dan pembangunan mental anak bangsa tidak berhenti pada level dasar saja namun dapat berlanjut pada level yang lebih tinggi.  

Referensi: 

Al-Faruq, M. S. S., & Sukatin, S. P. I. (2020). Psikologi Perkembangan. Deepublish. 

Ariani, I., Lubis, R. N., Sari, S. H., Fransisca, Y., & Nasution, F. (2022). Perkembangan Motorik Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 4(6), 12347-12354. 

Murba, A., Kinasih, I. R., Aminah, S., Salsabila, T., & Gultom, N. I. (2022). Pentingnya Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 4(6), 12854-12860. 

Noor, T. (2018). Rumusan tujuan pendidikan nasional pasal 3 undang-undang sistem pendidikan nasional No 20 Tahun 2003. Wahana Karya Ilmiah Pendidikan, 3(01). 

Zulkarnain (2015). Pendidikan Kognitif berbasis Karakter. Tasâmuh, 12(2), 189-203 

This article has been published in Radar Sulbar


Surel: widya_pratiwi@ecampus.ut.ac.id - Blog: https://www.pratiwiwidyarizky.my.id/

Posted 07/02/2023 by widya-pratiwi in category "Homepage

About the Author

Widya Rizky Pratiwi is a lecturer of Universitas Terbuka, Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *